Pengarang: Taqrib
SYIHAB al-Dunya wa ad-Din Ahmad bin Husain bin
Ahmad al-Asfahani al-Syafi’i, populer dengan panggilan Abu Syuja’, berasal dari
Isfahan, salah satu kota di Persia, Iran.
Ia dilahirkan di Bashrah pada tahun 433 H/1042
M. Pernah menjabat sebagai mentri pada dinasti bani Saljuk tahun 447H/1455M,
sehingga dikenal dengan julukan Syihabuddunya waddin (bintang dunia dan agama).
Di saat itu ia dapat menyebar luaskan agama dan keadilan. Kebiasaannya,tak
pernah keluar rumah sebelum shalat dan membaca al-Qur’an sedapat mungkin.
Dalam urusan kebenaran, ia tak pernah gentar
akan caci maki, hujatan dan kecaman dari siapapun, baik pejabat atau penjahat. Ketika
menjabat sebagai mentri, Abu Syuja’ sangat dermawan. Ia mengangkat sepuluh
orang pembantu untuk membagi-bagikan hadiah dan sedekah. Mereka diserahi
seratus dua puluh ribu dinar. Uang sebanyak itu dibagi-bagikan kepada para
ulama dan orang-orang yang saleh.
Abu Syuja’ adalah pakar fikih mazhab Syafi’i.
Di Bashrah ia mendalami mazhab fikih yang dipelopori Imam Syafi'i selama ini,
emapat puluh tahun tahun lebih, sehingga menjadi pakar fikih madzhab Syafi’I.
Pada akhir usianya, ia memilih untuk hidup dalam kezuhudan. Seluruh hartanya
dilepas dan ia pergi ke Madinah. Menyapu, menghampar tikar dan menyalakan lampu
Mesjid Nabawi, merupakan aktivitas rutinnya setiap hari. Setelah salah seorang
pembantu Mesjid Nabawi meninggal dunia, Abu Suja’ mengambil alih tugas-tugasnya.
Rutinitas ini beliau jalani sampai ajal menjemputnya pada tahun 593 H/1166 M.
Abu Suja’ meninggal di Madinah. Janazahnya
dimakamkan di Mesjid yang ia bangun sendiri di dekat Bab Jibril, sebuah tempat
yang pernah disinggahi malaikat Jibril. Letak kepalanya berdekatan dengan kamar
makam Nabi dari sebelah timur.
Allah menganugerahkan usia panjang kepada tokoh
besar ini.160 tahun lamanya ia menghirup udara dunia. Akan tetapi dalam jangka
waktu yang sangat panjang itu, tak satupun dari dari anggota tubuhnya yang
cacat. Ketika ditanya mengenai rahasianya, beliau menjawab: “Aku tidak pernah menggunakan satupun dari anggota tubuhku untuk bermaksiat kepada Allah. Karena
pada masa mudaku aku meninggalkan maksiat, maka Allah menjaga tubuhku di usia senja.”Penjelasan riwayat hidup Abu Syuja’ yang diurai
diatas disebut dalam beberapa kitab syarah Fath al-Qorib dan dikutil oleh
beberapa orang. Tampaknya, semua sepakat bahwa Abu Syuja’ lahir pada tahun 433
H. tapi, mengenai tahun wafatnya masih diperselisihkan oleh beberapa kalangan.
Yang menarik al-Bajuri menyebutkan bahwa Abu Syuja’ wafat pada tahun 488.
padahal dalam redaksi lainnya ia menyebut persis seperti pesyarah yang lain.
Haji Khalifah dalam Kasyf az- Zhunun menuturkan bahwa Abu Syuja’ meninggal pada
tahun 488.
Dalam pernyataan bahwa, Abu Syuja’ pernah
menjabat sebagai wazir pun masih perlu diselidiki kebenarannya. Sumber-sumber
kitab sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu memang ada seorang wazir berjuluk
Abu Syuja’. Ia dikenal adil dan alim. Ia juga mengarang kita Takmilah li-Kitab
Tajarid al-Umam karya Ibnu Maskaweh. Ia juga bermazhab Syafi’i dan berguru pada
Syekh Abu Ishaq as-Syirazi di Baghdad. Disebutkan pula bahwa ia terlahir pada
tahun 437 dan wafat pada 488. tahun wafat itu sama dengan yang dsebut oleh
al-Bajuri dan Haji Khalifah. Di sinilah timbul kekaburan.
Namun Abu Syuja’ sang wazir itu tidak bernisbah
al-isfahani. Nisbahnya adalah ar-Rudzarawari. Namanya pun berbeda. Sang wazir
itu bernama Muhammad al-Husain bin Muhammad bin Abdillah bin Ibrahim. Sedang
Abu Syuja’, pengarang Taqrib, bernama Ahmad bin al-Husain binAhmad bin al-
Isfahani. Hanya saja, kedua orang itu bertepatan berkunyah sama yaitu Abu
Syuja’. Dalam kitab-kitab sejarah juga disebutkan bahwa Abu Syuja’, sang wazir
Dinasti Abbasiyah, wafat di madinah. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa
kedua orang itu berbeda.
Mungkin saja para pesyarah fath al-Qorib
seperti al-Bajuri, Syek Nawawi Banten dan majid al-Humawi ikut pada
al-Bujairimi yang salah sadur dari ad-Dairobi. Yang lebih baik adalah
mempercayai apa yang ada dalam Thabaqat as-Syafi’iyah karya as-Subki dan Dairah
al-Ma’arif al-Islamiyah yang menyebut keduanya terpisah dan berbeda.
Ghayah al-Ikthishar yang dikarang oleh Abu
Syuja’ termasuk karya terindah mengenai pokok-pokok fikih. Kitab yang lebih
dikenal dengan sebutang Taqrib ini, mencakup permasalahan yang luas meskipun
bentuknya kecil. Seorang ulama mengubah bait-bait syair, memuji Abi Suja’ dan
karya monumentalnya, Ghayah al-Ikhtishar, yang lebih popular dengan sebutan
Taqrib:
Wahai yang menghendaki faidah berkesinambungan
Demi peroleh keluhuran dan kemanfaatan
Dekatilah ilmu-ilmi itu
Jadilah kau pemberani
Dengan Taqribnya (pendekatan) Abi Syuja’ (bapak
para pemberani).
Karena padat dan pentingnya isi kitab ini, para
imam berpacu mensyarahi, mengomentari, memberi catatan kaki serta merumuskanya
dalam bait-bait nazam. Di antaranya syarah-syarah tersebut ialah:
Kifayah al-Akhyar fi Syarh al-Ikhtisar, karya
Imam Taqiyuddin bin Muhammad al-Husaini al-Hishni ad-Dimasyqi, w. 829 H. kitab
ini sebanyak dua jilid.
al-Iqna’ fi Hall Alfazh Abi Syuja’, karya
al-Khatib al-Syarbini.
Fath al-Qarib al-Mujib fi syarh at-Taqrib atau
al-Qaul al-Mukhtar fi syarh Ghayat al-Ikhtishar, karya Abu Abdillah Muhammad
bin Qasim al-Gazzi, w. 918 H. Dan masih banyak lainnya.
(Ditulis kembali dari Buku: Guruku Dipesantren
karya LPSI Pondok Pesantren Sidogiri. Diterbitkan pada tahun 1420 H)
kontributor: santri PPHM
0 comments:
Post a Comment