Home » » Hari Santri Nasional Saksi Perjuangan Pondok Pesantren Salatiga

Hari Santri Nasional Saksi Perjuangan Pondok Pesantren Salatiga


PONDOK Pesantren Hidayatul Mubtadiien adalah salah satu ponpes yang memiliki riwayat yang cukup panjang di Kota Salatiga. Ya, ponpes di wilayah RT 1 RW 3 Kelurahan Kalibening, Kecamatan Tingkir itu dahulu memiliki santri yang juga pejuang, serta turut angkat senjata mengusir penjajah saat sebelum dan pascakemerdekaan RI.
Ponpes tersebut didirikan KH Abdul Halim pada tahun 1926. Pusat syiar ajaran Islam di ponpes itu adalah masjid, yang juga dibangun tahun 1926 dan merupakan salah satu masjid tertua di Kota Salatiga. Baitullah tersebut menjadi saksi bisu dari sejarah perkembangan ponpes dan juga perkembangan syiar Islam di Salatiga.
Karena pada kala itu untuk mendirikan pesantren tidak mudah, karena adanya pembatasan bahkan pelarangan pemerintah penjajah, yang melarang kegiatan yang berbau ajaran agama Islam. Namun dengan dilandasi untuk syiar agama Islam KH Abdul Halim dengan dibantu warga Desa Kalibening kala itu, tetap nekad membangun pesantren tersebut.

"Pesantren ini juga sempat menjadi tempat untuk menyusun strategi melawan penjajah," jelas KH Abda Abdul Malik, putra KH Abdul Halim dan kini menjadi pimpinan di ponpes tersebut.
Beliau bercerita, kala itu senjata yang dipergunakan mengusir penjajah masih sangat sederhana, yakni hanya bambu runcing dan ketapel. Namun meski hanya senjata tradisional, namun tidak mengurangi semangat untuk berjuang melawan para penjajah. Bahkan tentara Belanda sangat takut dengan ketapel, karena bisa dipergunakan dari jarak jauh dan tanpa suara.

Jam Matahari
Ponpes tersebut juga memiliki jam bencet, atau jam yang menggunakan sinar matahari sebagai pedoman penunjuk waktu. Jam bencet yang masih berfungsi itu terletak di belakang masjid. Saat ini, ponpes berumur 85 tahun itu memiliki sekitar 200 santri, laki-laki atau perempuan.

Mereka berdatangan dari berbagai daerah, bahkan ada yang datang dari luar Jawa. Mereka belajar berbagai ilmu agama, mengaji Al Quran, fiqih, tafsir Jaelani dan tasyawuf. Selama Ramadan, kegiatan ditambah shalat tarawih dan tadarus. Abda yang mantan anggota DPRD Kota Salatiga itu mengemukakan, tidak ada batasan waktu berapa lama seseorang bisa nyantri di situ.

Karena ada yang ingin belajar satu tahun, atau sampai sembilan tahun. Tidak sedikit mereka yang mondok lebih dari lima tahun, ketika pulang ke daerah asalnya akan mendirikan ponpes sendiri atau menggantikan orang tuanya yang sudah memiliki ponpes.
"Tapi ada juga santri di sini yang nyambi sekolah atau kuliah di berbagai sekolah yang ada di Kota Salatiga," tandas Abda, yang mengaku belajar agama Islam dari berbagai ponpes di Jateng dan Jatim.

Kontributor:Pratikso (PPHM) 

0 comments:

Post a Comment