Home » , , » Sejarah Ilmu Nahwu

Sejarah Ilmu Nahwu



Penyusunan ilmu bahasa arab mulai digagas tatkala banyak terjadi kesalahan, kesalahan berbahasa, dalam diri orang-orang arab.
Salah satu contohnya sebagai berikut. Diriwayatkan bahwa ‘Umar berjalan melewati beberapa orang yang sedang memanah, namun skill-nya tidak mumpuni. ‘Umar pun mengkritik mereka. Namun mereka menjawab,
إَنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ
“Innaa qaumun muta’allimiina”
(Kami adalah orang terpelajar)
Kaget mendengar jawaban mereka, ‘Umar sontak berpaling sambil marah. Lalu berkata, “Demi Allah! Kesalahan kalian dalam berbahasa lebih jelek dari pada ketidakmampuan kalian dalam memanah!” (Min Taariikhin Nahwi Al ‘Arabiyy, hal. 9, Maktabah Syamilah)
Seharusnya mereka mengatakan : “muta’allimuuna” (مُتَعَلِّمُوْنَ), bukan “muta’allimiina” (مُتَعَلِّمِيْنَ). Kesalahan berbahasa seperti inilah yang memicu penyusunan ilmu bahasa Arab.
Siapa pelopornya?
Ada beberapa versi yang menyebutkan tentang sosok dibalik penyusunan ilmu nahwu. Namun pendapat paling terkenal mengenai pelopor ilmu nahwu adalah Abul Aswad Ad Dualiy yang wafat pada tahun 67 H atas perintah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. (Min Taariikhin Nahwi Al ‘Arabiyy, hal. 27, Maktabah Syamilah)
Penulis kitab Min Taariikhin Nahwi Al ‘Arabiyy, Syaikh Sa’id bin Muhammad Al Afghaniy mengatakan, “Siapa yang membaca dengan seksama biografi Abul Aswad Ad Dualiy dalam kitab Taarikh Dimasyqa karya Ibnu ‘Asaakir misalnya, lalu memikirkan banyaknya sumber yang menyebutkan bahwa dialah yang mempelopori ilmu nahwu, niscaya tidak akan menganggap jauh hal tersebut” (idem)
Bagaimana awal kejadiannya?
Riwayat yang cukup terkenal terkait sebab dicetuskannya penyusunan ilmu nahwu adalah kisah Abul Aswad Ad Dualiy bersama putrinya.
Diriwayatkan bahwa anak Abul Aswad suatu hari mengangkat wajahnya ke arah langit. Ia menghayati keindahan langit beserta bintangnya. Lalu ia berceletuk,
مَا أَحْسَنُ السَمَاءِ
“Maa ahsanu as samaa-I”[1]
Karena dikira si anak bertanya, sang ayah menjawab, “Bintangnya, nak”
Si anak mengklarifikasi, “Yang aku mau adalah ungkapan kekaguman (bukan bertanya-pen)”
Sang ayah menjawab, “Oh, kalau begitu bilangnya seperti ini,
مَا أَحْسَنَ السَمَاءَ
“Maa ahsana as samaa-a”[2]
Diriwayatkan juga bahwa Abul Aswad Ad Dualiy mendengar seseorang membaca ayat di awal-awal surat At Taubah,
أَن الله بَرِيء من الْمُشْركين وَرَسُوله
Seperti ini di bagian akhirnya, wa rasuulihi…”
Abul Aswad pun terkaget mendengarnya. Seharusnya dibaca wa rasuuluhu…”[3] tetapi dibaca wa rasuulihi…”.[4]
Singkat cerita, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengajak Abul Aswad Ad Dualiy menyusun kaidah bahasa arab. Beliau diktekan beberapa teori nahwu kepada Abul Aswad. Lantas beliau katakan,
انح هذا النحو
“Unhu hadzan nahwa”
(Ikutilah contoh ini)
Dari situlah nama “nahwu” melekat untuk ilmu ini. (Al Qawaa’id Al Asaasiyyah, hal. 5)
Dimana awal perkembangannya?
Berbagai sumber menyebutkan bahwa ilmu nahwu berkembang di Bashrah (Min Taariikhin Nahwi Al ‘Arabiyy, hal. 27, Maktabah Syamilah)
Namun seiring berjalannya waktu, terdapat dua madzhab besar dalam bahasa arab, yakni madzhab Bashrah dan Kufah.

 Kontributor:santri pphm

0 comments:

Post a Comment