“Dorr...dorrr...dorrr!!!”
Suara gebrakan pintu menggelegar seantero asrama putra di waktu fajar.
“Huammmm....masih ngantuk!” kataku sambil tetap tidur tanpa mempedulikan
gebrakan sang mudabbir bagian ibadah yang ingin membangunkan a’do-a’donya.
Mudabbir adalah pengurus yang mempunyai tugas masing-masing, kata-katanya
diambil dari kata bahasa arab yang merupakan ism fail dari dabbaro-yudabbiru
yang berarti pengurus, semua pengurus adalah kelas 2 semester 2 atau kelas 3.
A’do adalah sebutan untuk yang diurus, diambil dari kata bahasa arab yang
artinya anggota, biasanya kelas 1 dan kelas 2 yang belum jadi pengurus.
Raut muka
sang mudabbir mulai terlihat jengkel melihat para a’do belum ada yang bangun.
“Astaghfirullah...QUMUUUU!!! QUMUUU!! Hattal Khomsah Wahid, Itsnani,
Tsalata...¹ ” Bentakan dan hintungan mudabbir sontak menaikkan hormon
adrenalinku dan kantukpun hilang, langsung tancap gas membuka lemari dan
mengambil baju koko dan sarung. Sempat aku melihat semua a’do berubah menjadi
seperti orang kantoran yang kesetanan mengejar bis. Grasak grusuk suara
lemaripun langsung membahana. Akupun panik karena hitungan hampir mencapai
hitungan ke-5.
“Khomsah!!
Huna!!! La tajri! Qif amami kullun!! Wildan huna!!²” hitungan sudah mencapai
hitungan ke-5 dan akupun diberhentikan oleh sang mudabbir. “Aaaah...sial!”
kataku jengkel dalam hati. “Limadza antum la taqumu?? Aqimtun fissaa’ah al
arbiah wal an?? Sayarunnul adzann....astaghfirullah!! Kholas! Ba’du la tuaid ka
hadza marrotan ukhro! Al an irfa’ rijlakum!³” Kami semua diam oleh bentakan sang
mudabbir yang benar-benar jengkel oleh keterlambatan kami. Semua menunduk dan
menunggu giliran untuk dipukul kaki kami dengan rotan yang selalu dibawa
pengurus waktu itu ketika subuh. “Cetar!” sabetan rotanpun membahana tapi aku
sama sekali tidak merasakan sakit mungkin hanya suaranya saja yang mengerikan
tapi ternyata hanya seperti tong kosong nyaring bunyinya.
Setelah
mendapat sabetan rotan yang menurutku seperti penggaris yang numpang lewat
akupun berjalan bersama teman-teman yang lain. “Sakit gak?” tanyaku kepada Ray.
“Nggak ah...sakit apaan kali? Hahaha” Jawab Ray meremehkan sabaten sang
mudabbir. Ray teman sekamarku dulu yang berasal dari Jakarta. Aku sendiri
berasal dari Bekasi. Kamarku berisi 9 a’do dan 1 mudabbir
yakni Arsyad Haikal. Dulu sebelum datang pengurus dari kelas excellent, kami
berdua sekamar. Dan dulu kamar kami didominasi oleh anak-anak lampung yang
emosinya cepat naik. Kami bertiga Aku, Ray, dan Jamil adalah 3 orang diantara 7
orang yang berasal dari non lampung. Jamil berasal dari bandung yang kemampuan
gitarnya akan terlihat nanti. Jamil pendiam sama sepertiku tapi tak sediam aku
yang hanya bisa “mojok” di kasur atas.
Orang
yang pertama kali “klop” denganku adalah Ray. Dia tipikal orang yang mudah
bergaul dan mudah beradaptasi. Dia pernah membangunkanku di hari pertama untuk
ngumpul bareng dengan yang lainnya dan menawarkanku nasi kuning. Tapi karena
ketidakberdayaanku dalam beradaptasi akupun hanya bisa turun dari kasur dan
diam memandang yang lain. Aku masih takut untuk berinteraksi dengan yang
lainnya. Akupun menuju kamar mandi dan mengusap mukaku yang berantakan akibat
tidur yang cukup lama. Keluar dari kamar mandi aku memandangi pepohonan yang
tampak dari jendela samping kamar mandi. “YA ALLAH...kenapa aku ada disini? Aku
rindu teman-teman SMP-ku” air mataku mengalir membasahi pipiku sambil menatap
kosong ke arah pepohonan. Aku usap air mataku dan aku mencoba
kembali bergabung dengan mereka. Tapi aku masih canggung dan akhirnya aku
memutuskan untuk kembali ke kasur atas dan merebahkan diri sambil berusaha
untuk tidur kembali dan memaksa mata untuk tertutup. Tapi sia-sia dan akhirnya
akupun hanya bersandiwara sambil mendengarkan percakapan mereka dari atas.
Ada
keceriaan yang kudengar dari obrolan mereka dan sepertinya mereka sudah dapat
beradaptasi antara satu sama lain kecuali aku sendiri. Akupun tidur dan
film-pun diputar di dalam dunia mimpiku. Aku melihat ibuku dan bapakku yang
melambai-lambai sambil tersenyum dari kejauhan. Aku berusaha menggapai tangan
ibuku tapi entah mengapa semakin aku berlari mereka semakin menjauh. Akupun
tersungkur di tanah dan menangis. Akupun melihat teman-teman SMPku
menertawaiku. Ada Ayu, Brian, Ulfi, Vivin, Fitria. Semuanya menertawaiku dan
menggandengku ke sebuah tempat. Akupun mengusap aIr mataku dan senyumpun
menyembul di antara pipiku. “Ayo dan!! Kita kesana!” ajak Ayu sambil
menggandeng tangan dan tersenyum diikuti teman-teman yang lain yang merangkulku
dari belakang dan membangunkanku dari tanah. Aku bangun dan akupun tertawa
riang bersama mereka menuju sebuah tempat. Tempat yang tidak asing bagiku,
dimana ini? Setelah sampai di tempat itu teman-temanku meninggalkanku sambil
melambaikan tangan “Jangan sedih! Kamu harus selalu tersenyum apapun
keadaannya, Kami percaya kamu bisa dan! Allah akan selalu ada dalam hatimu!”
kata-kata terakhir Ayu membuatku semakin sedih karena mereka meninggalkanku
sendiri disini yang ternyata adalah Pondok Pesantren Daar El-Qolam 3.
***
“Cetar!”
sabetan sajadah mudabbir membangunkanku yang tertidur saat berdzikir. Sontak
aku bangun dan berpura-pura untuk berdzikir. Temanku ray menertawaiku yang
melihat ekspresiku yang mirip ikan salmon mangap-mangap. “Apaan sih lo ray!”
kataku sambil menyenggol pundaknya. “Hehehehe...ekpresi muka lo kacak dan” Ray
masih menertawaiku. Aku melihat ke sekeliling ada irvan yang walaupun sudah
beberapa kali disabet dengan sajadah tapi tetap saja tak menggoyahkan alunan
disko dalam mimpinya. Dan masih banyak lagi yang berdisko di subuh ini. Yah~
inilah santri. Subuh sudah biasa menjadi ajang pencarian bakat disko dalam
mimpi.
Akhirnya
dzikir selesai. “Al an iftahu quranakum assofhah al ula minas suroh al baqoroh!
Aqimuu ashabakum wa la tanamu..¹” Kak Awang, mudabbir bagian ibadahpun
melantunkan ayat suci alquran surat al baqoroh ayat 1 diikuti oleh seluruh
santri kecuali kelas 6 yang duduk di belakang dan nyaman tidur sambil beradu
disko. “hmmm..enak banget jadi mudabbir. Kerjaannya nyuruh doank tapi gak
ngelakuin, huh” protesku dalam hati ketika melihat mereka adu disko di
belakang.
Selesai
membaca al quran kamipun menuju asrama dan berlari menuju kamar masing-masing
untuk menaruh sajadah dan peci sekaligus mengambil buku mufrodat dan kamus
bahasa arab. “Hattal khomsah...wahid! itsnani! Tsalatsa!...” teriak Kak Arsyad,
mudabbir bagian bahasa. “Zzzzztt..baru juga nyampe udah diitungin lagi aja”
protesku dalam hati sambil buru-buru mencari kamus. “Ini kamus manaaa lagi? Et
dah ya..” aku panik dan akhirnya mengambil kamus nganggur di samping lemari.
Akupun langsung reflek mengambil kamus di samping dan bergegas keluar kamar dan
berkumpul di depan asrama sambil duduk beralaskan sandal. “Khommm....khomsah!
Sundawa huna!” kata Kak Arsyad menunjuk Sundawa yang dari tadi kebingungan
mencari kamus. “Na’am akh...¹” pasrah Sundawa sambil berjalan lemas keluar
kamar. “Limadza ente?²” tanya kak arsyad kepada sundawa. “Ehmm..anu ka, eh al
akh...qomusi...ehhh do’ats³” kata Sundawa yang masih terbata-bata dalam
mengucapkan kalimat bahasa arab. “Do’ats? Aina tado’? Man ya’khudz qomus
lisundawa?¹¹” tanya Kak Arsyad kepada kami semua. “Eh, keanya ini kamusnya
sundawa deh” Kubuka kamus yang tadi kuambil dan ternyata benar dugaanku ada
tulisan ‘SUNDAWA H.S’. “Waduh mampus gue!” antara galau bilang apa nggak, aku
memilih diam. “La ahad man ya’khudz? Toyyib sundawa..huna rijlaka!¹²” Kak
Arsyad bersiap-siap memukul Sundawa dengan rotan “Ba’du akh...ana akh man
ya’hudz afwann...¹³” akupun akhirnya mengaku sambil menunduk dan pukulan
rotanpun mendarat ke kakiku yang panjang dan kecil. Akupun meminta maaf ke Sundawa
dan berjabat tangan “maafin gue ya sundawa” “iye dan..gapapa makasih juga gue
jadi kaga disabet ama kak arsyad.hehehe” kamipun tertawa bersama.
Setelah
pembagian 2 kosa kata yang benar-benar membosankan kamipun kembali ke kamar dan
mengantri untuk mandi mempersiapkan ke sekolah. Akulah yang pertama mendapat
giliran karena ada hajat yang harus dibuang juga di kamar mandi. Aku mandi
sendiri, entah yang lain. Mereka biasanya berkelompok, ada yang 2 orang, 3
orang, bahkan pernah sampai 6 orang dalam satu kamar mandi. Untunglah aku
selalu mandi sendiri karena paling pertama masuk, berbeda dengan yang lain yang
terbiasa tidur sehabis ilqo mufrodat.
Selesai
mandi aku memakai baju putih dan celana hitam. Tidak seperti anak SMA lain yang
biasanya identik dengan celana abu-abu. Di pesantren ini setiap hari senin,
selasa dan rabu diwajibkan memakai celana hitam dan baju putih sedangkan hari
kamis memakai baju pramuka dan hari sabtu dan minggu memakai baju putih dan
celana putih. Jumat di pondok serasa bagai surga bagi anak pondok karena hari
inilah kami libur dan melakukan apapun yang kami mau selagi tak melanggar
aturan.
Aku
bergegas menuju dapur dan mengambil nasi yang langsung sekaligus untuk 3 orang,
Aku, Fajar, dan Awal. Ya! Kami bertiga adalah kelompok non lampung. Ray sudah
pindah kamar ke kamar 7 digantikan oleh Fajar ditambah dengan Awal yang baru
mendaftar ke pondok ini kemarin. Fajar dan Awal berasal dari Tangerang yang
jarak dari pondok ke rumahnya tak begitu jauh. Kami selalu makan bersama dengan
lauk gorengan yang bayarnya bergiliran. Kami biasanya makan saat istirahat
pertama, nasi yang tadi pagi kami simpan dibawah ranjang.
***
Aku duduk
bersama Arif di bangku ke-2 dari belakang samping dinding kelas 4B. Lokasi yang
benar-benar strategis menurutku karena jarang ditanya dan diperhatikan oleh
ustad kami. Arif berasal dari tangerang dan dia pernah ‘mondok’ di Cikarang,
dekat dengan daerahku. Di belakang kami ada Aspan dan Very yang berasal dari
Bekasi. Aspan kalau berbicara selalu terbata-bata entahlah tapi itulah
kekhasannya yang membuat kami sering tertawa meledeknya.
Hari ini
kelas diisi oleh pelajaran bahasa arab semua. Alhasil wali kelas kami, Ustad
Gunawan tak pernah bosan bertanya “Bosen gak anak-anak? Hehe” wali kelas kami
tergolong ramah dan pengertian dengan keadaan kami yang sebagian besar berasal
dari SMP. Arif dan Very berasal dari pondok jadi jangan heran kalau mereka
sering jadi anak ‘andalan’ oleh Ustad Gunawan karena memang harus diakui bahasa
arab mereka berdua lebih jago dibanding yang lain. Lain denganku yang
benar-benar buta dengan bahasa arab. Untunglah aku duduk bersama Arif karena
aku bisa bertanya banyak kepadanya khususnya mengenai pelajaran bahasa arab.
***
Becandaan
Arif kali ini sedikit membuatku kesal di sela-sela pergantian jam. Aku sedang
asyik membaca buku, dia malah menginjak kakiku dengan sengaja dan tertawa.
Jelas saja aku marah dan ‘ngambek’. “Yaelah dan..becanda doank..hehee” rayu
Arif mencoba menghilangkan kebosananku. “Ah bodo! Ana ke belakang aja. Aspan
tukeran ama ana ya, ana lagi males ama arif” akupun menukar posisi dengan Aspan
di bangku paling belakang bersama Very.
Awalnya
Aku dan Very masih diam. Akunya masih ‘bete’ dengan Arif, Verynya juga memang
pendiam. Dan saat jam ke-3 barulah kami berinteraksi “Ente darimana ver?”
kataku membuka percakapan. “Bekasi, ente bekasi juga kan? Dimananya?” “Di
cibitungnya, tau?” Dan kamipun mulai akrab sejak perkenalan kami waktu itu.
***
Hari-hari
berlalu di kelas 4B ini, aku memutuskan untuk tetap duduk bersama Very karena
‘asyik’ aja kalo duduk bersama Very. Dia selalu membuat becandaan yang tidak
terkesan ‘garing’ seperti arif walaupun aku dengan Arif sudah baikan alias ‘gak
marahan’ lagi. Jujur saja aku nyaman kalau duduk bersama Very karena dia setiap
hari bercerita. Ada saja cerita yang akan dia ceritakan. Entah itu tentang
pondoknya dulu, pacarnya, kamarnya, hingga masa lalunya yang kelampun dia
ceritakan kepadaku. Aku merasa enak aja mendengarkan dia bercerita dengan
begitu antusias dan aku hanya bisa berkata “oh?” atau “terus?”. Karena memang
aku masih belum bisa mengobrol bebas apalagi membuat becandaan yang membuat
satu kelas tertawa seperti Ihsan, maskot kelas kami yang selalu membuat kami
tertawa terbahak-bahak.
Ada suatu
kedekatan hati antara Aku dengan Very. Mungkin karena dia sering ‘curhat’
masalahnya kepadaku walaupun terkadang aku tidak bisa memberikan solusi tapi
setidaknya bisa membuat dia lega mencurahkan isi hatinya. Dan berkat dia juga aku
bisa tertawa lepas dan mencurahkan isi hatiku kepadanya. Setidaknya rasa
‘kangen’ku terhadap rumah bisa hilang olehnya. Dia juga termasuk orang yang
memiliki motivasi yang kuat dalam hatinya. Dia selalu terinspirasi oleh
lagu-lagu Bondan Fade2black dan J-rock, dua band yang menjadi favorit dia.
Sesekali dia menyanyikan lagu Bondan yang berjudul ‘Ya Sudahlah’ dan J-rock
yang berjudul ‘Ceria’. Setidaknya dapat menghibur hatiku yang hampa oleh
keceriaan. Dan ada lagi yang membuatku tertawa dan heran karena mukanya yang
pendiam sangat kontradiktif dengan ekspresinya ketika dia ‘ngocak’. Benar-benar
tidak disangka ternyata orang sediam Very dapat menampakkan ekspresi ‘konyol’
kepadaku.
***
Hingga
akhirnya aku mengenal cinta, aku jatuh cinta kepada akhwat yang berada di kelas
4C. Satu yang membuat tertarik adalah dia pernah ‘naik panggung’, istilah yang
dipakai oleh santri ketika ada santri lain yang ranking 1, 2 dan 3 naik ke
panggung dan mendapat piala dari direktur pengajaran. Aku butuh seseorang yang
dapat memacu motivasiku di lingkungan pondok yang gersang ini. Maka Verypun
menjadi sesuatu yang selalu memberikan tips-tips dalam berhubungan dengan
akhwat.
Very
walaupun pendiam tapi dia pernah memperlihatkan surat ‘akhwat’nya yang satu
kelas dengan kami. Jujur saya kaget tapi saat dia menjelaskan kalau dia
‘begini’ karna dia butuh motivasi. Dari situlah sebenarnya niatan saya untuk
‘mencari’ seseorang yang dapat memotivasi saya. Very selain bagi saya sahabat
terbaik, dia juga sudah saya anggap dokter cinta bagi saya yang terkadang butuh
‘vitamin’ dari dokter yang satu ini. Satu pesan yang selalu saya ingat darinya
adalah
أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما وأبغضك
هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوما ما.
Dikutip
dari hadits rasulullah yang artinya : “Cintailah orang yang kamu cintai
sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau
benci. Dan, bencilah orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi pada suatu
hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai.”
Tapi
apalah arti sebuah nasehat jika seseorang sudah dibutakan oleh sesuatu yang
dinamakan cinta. Inilah rasanya jatuh cinta, tak ada yang tahu rasanya cinta
sebelum dia sendiri yang merasakannya. Dan akupun dibuai oleh cinta. Aku
semakin tenggelam bersama alunan cerita cinta yang diciptakan kami berdua.
Wildan dan Zulfa yang mana kami menamai diri kami masing-masing dengan Belalang
dan Capung. Entah darimana asalnya aku menyebut dia Capung dan dia menyebutku
Belalang mungkin karena dia memakai kacamata yang mirip Capung dan aku yang
kurus mirip Belalang.
Akupun
semakin cinta dengan ‘capung’ dan Verypun semakin terlupakan. Very sekarang
hanya menjadi tempat bersandarku ketika aku sedih tidak mendapat balasan dari
Zulfa, selebihnya aku menjadi jarang mengobrol dengan dia karena sibuk dengan
balasan surat dari Zulfa yang terkadang aku balas ketika pelajaran berlangsung.
Mungkin Very memaklumiku tapi dia tak pernah lelah menasihatiku untuk tidak
terlalu mencintainya takut pas dia gak ada kita malah membencinya. Ah nasehat
hanya nasehat, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
***
Hingga
suatu hari aku dan very ‘cekcok’ adu mulut karena dia membuang pemberian Zulfa
kepadaku. Jelas saja aku marah karena itu adalah sesuatu yang datangnya dari
orang spesial. “Maksud lo apaan ver buang-buang punya zulfa?!” bentakku
kepadanya. “Lo ngapain lebay banget ama cewek? Udah lah dan...jangan terlalu
over ama cewe. Biasa aja... Gw takut lo nyesel nanti” Jawab Very dengan nada
yang agak merendah.
Kamipun
hanya bisa diam satu sama lain setelah kejadian itu. Aku merasa untuk apa aku
berbicara dengan orang yang sok menggurui itu.
Tak
biasanya kami sediam ini dan menyimak pelajaran dengan serius. Biasanya kami
selalu mengobrol ketika pelajaran yang kami anggap membosankan, verypun
biasanya selalu membawa cerita ketika masuk kelas. Tapi kali ini hampa tanpa
cerita dan senyuman. Aku sebenarnya sadar dengan ketidaknyamanan ini tapi mau
bagaimana lagi, ego kami sungguh besar hingga mengalahkan ketidaknyamanan ini.
Akupun
menghibur diri dengan menulis surat kepada Zulfa, dia memberi masukan untuk
segera meminta maaf tapi aku menolak karena aku berpikir untuk apa aku meminta
maaf? Harusnya dia yang minta maaf!
***
Keesokan
harinya masih dengan ekspresi yang sama kami diam sepanjang perjalanan. “Ya
allah..Bete banget nih!” tak ada cerita, tak ada canda dan tawa. Pelajaran ke-5
kosong. “Masyallah makin bete aja nih..” kataku dalam hati sambil menekan meja
dengan pulpen. Sunyi dan akupun akhirnya menulis surat untuk sang kekasih.
Saat aku
menulis aku merasakan getaran di meja seperti ada orang yang sengaja
menggetarkannya. Aku tengok raut muka Very. Dia seperti menahan tawa. Akupun
melanjutkan tulisanku di atas kertas. Tapi sekali lagi tulisankun tercoret
lagi. “Ih ni orang rese banget dah..” kataku dalam hati. Aku tatap muka Very
dengan wajah marah. Dia tetap seperti menahan tawa. Aku lanjutkan dan kali ini
masih bergetar. Aku tarik hidungnya yang macung dengan jari teluntuk dan jari
tengahku. “Aduh sakit tau...hehehe” kata Very sambil cengengesan. Akupun
menjabat tangannya dan berkata “Maafin gue ye ver. Gue emang lebay.hehehe
Makasih sahabatku yang baik hatinya dan rajin menabung di wc.hehehe”. Very
sewot “Wuuuu....siapa juga yang nganggep lo sahabat ye..? kepedean lo! Hahaha”
verypun memukul pundakku tanda kemerdekaan kami berdua dari ‘penjajahan’ ini.
Aku sadar
bahwa sahabat begitu berarti dan berharga. Lebih berharga dari siapapun setelah
Allah dan orang tua. Sahabat lebih mengerti keadaan kita daripada teman-teman
yang lain karena dengannya lah kita berbagi kesedihan dan berbagi canda dan
tawa. Oh sahabat~ terima kasih selalu setia memperingatiku untuk selalu berada
di jalan yang benar. Semoga Allah mempertemukan kita di surga nanti.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :إن من عباد
الله عبادا ليسوا بأنبياء، يغبطهم الأنبياء والشهداء، قيل: من هم لعلنا نحبهم؟
قال: هم قوم تحابوا بنور الله من غير أرحام ولا أنساب، وجو ههم نور على منا بر من
نور، لا يخافون إذا خاف الناس، ولا يحزنون إذا حزن الناس، ثم قرأ:ألا إن أوليـاء الله
لا خوف عليهم ولا هم يحزنون.
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan : “Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka tidak taku di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membacakan ayat : “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Yunus : 62). (16)
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan : “Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka tidak taku di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membacakan ayat : “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Yunus : 62). (16)
Kontributor:Santri PPHM
“Dorr...dorrr...dorrr!!!”
Suara gebrakan pintu menggelegar seantero asrama putra di waktu fajar.
“Huammmm....masih ngantuk!” kataku sambil tetap tidur tanpa mempedulikan
gebrakan sang mudabbir bagian ibadah yang ingin membangunkan a’do-a’donya.
Mudabbir adalah pengurus yang mempunyai tugas masing-masing, kata-katanya
diambil dari kata bahasa arab yang merupakan ism fail dari dabbaro-yudabbiru
yang berarti pengurus, semua pengurus adalah kelas 2 semester 2 atau kelas 3.
A’do adalah sebutan untuk yang diurus, diambil dari kata bahasa arab yang
artinya anggota, biasanya kelas 1 dan kelas 2 yang belum jadi pengurus.
Raut muka
sang mudabbir mulai terlihat jengkel melihat para a’do belum ada yang bangun.
“Astaghfirullah...QUMUUUU!!! QUMUUU!! Hattal Khomsah Wahid, Itsnani,
Tsalata...¹ ” Bentakan dan hintungan mudabbir sontak menaikkan hormon
adrenalinku dan kantukpun hilang, langsung tancap gas membuka lemari dan
mengambil baju koko dan sarung. Sempat aku melihat semua a’do berubah menjadi
seperti orang kantoran yang kesetanan mengejar bis. Grasak grusuk suara
lemaripun langsung membahana. Akupun panik karena hitungan hampir mencapai
hitungan ke-5.
“Khomsah!!
Huna!!! La tajri! Qif amami kullun!! Wildan huna!!²” hitungan sudah mencapai
hitungan ke-5 dan akupun diberhentikan oleh sang mudabbir. “Aaaah...sial!”
kataku jengkel dalam hati. “Limadza antum la taqumu?? Aqimtun fissaa’ah al
arbiah wal an?? Sayarunnul adzann....astaghfirullah!! Kholas! Ba’du la tuaid ka
hadza marrotan ukhro! Al an irfa’ rijlakum!³” Kami semua diam oleh bentakan sang
mudabbir yang benar-benar jengkel oleh keterlambatan kami. Semua menunduk dan
menunggu giliran untuk dipukul kaki kami dengan rotan yang selalu dibawa
pengurus waktu itu ketika subuh. “Cetar!” sabetan rotanpun membahana tapi aku
sama sekali tidak merasakan sakit mungkin hanya suaranya saja yang mengerikan
tapi ternyata hanya seperti tong kosong nyaring bunyinya.
Setelah
mendapat sabetan rotan yang menurutku seperti penggaris yang numpang lewat
akupun berjalan bersama teman-teman yang lain. “Sakit gak?” tanyaku kepada Ray.
“Nggak ah...sakit apaan kali? Hahaha” Jawab Ray meremehkan sabaten sang
mudabbir. Ray teman sekamarku dulu yang berasal dari Jakarta. Aku sendiri
berasal dari Bekasi. Kamarku berisi 9 a’do dan 1 mudabbir
yakni Arsyad Haikal. Dulu sebelum datang pengurus dari kelas excellent, kami
berdua sekamar. Dan dulu kamar kami didominasi oleh anak-anak lampung yang
emosinya cepat naik. Kami bertiga Aku, Ray, dan Jamil adalah 3 orang diantara 7
orang yang berasal dari non lampung. Jamil berasal dari bandung yang kemampuan
gitarnya akan terlihat nanti. Jamil pendiam sama sepertiku tapi tak sediam aku
yang hanya bisa “mojok” di kasur atas.
Orang
yang pertama kali “klop” denganku adalah Ray. Dia tipikal orang yang mudah
bergaul dan mudah beradaptasi. Dia pernah membangunkanku di hari pertama untuk
ngumpul bareng dengan yang lainnya dan menawarkanku nasi kuning. Tapi karena
ketidakberdayaanku dalam beradaptasi akupun hanya bisa turun dari kasur dan
diam memandang yang lain. Aku masih takut untuk berinteraksi dengan yang
lainnya. Akupun menuju kamar mandi dan mengusap mukaku yang berantakan akibat
tidur yang cukup lama. Keluar dari kamar mandi aku memandangi pepohonan yang
tampak dari jendela samping kamar mandi. “YA ALLAH...kenapa aku ada disini? Aku
rindu teman-teman SMP-ku” air mataku mengalir membasahi pipiku sambil menatap
kosong ke arah pepohonan. Aku usap air mataku dan aku mencoba
kembali bergabung dengan mereka. Tapi aku masih canggung dan akhirnya aku
memutuskan untuk kembali ke kasur atas dan merebahkan diri sambil berusaha
untuk tidur kembali dan memaksa mata untuk tertutup. Tapi sia-sia dan akhirnya
akupun hanya bersandiwara sambil mendengarkan percakapan mereka dari atas.
Ada
keceriaan yang kudengar dari obrolan mereka dan sepertinya mereka sudah dapat
beradaptasi antara satu sama lain kecuali aku sendiri. Akupun tidur dan
film-pun diputar di dalam dunia mimpiku. Aku melihat ibuku dan bapakku yang
melambai-lambai sambil tersenyum dari kejauhan. Aku berusaha menggapai tangan
ibuku tapi entah mengapa semakin aku berlari mereka semakin menjauh. Akupun
tersungkur di tanah dan menangis. Akupun melihat teman-teman SMPku
menertawaiku. Ada Ayu, Brian, Ulfi, Vivin, Fitria. Semuanya menertawaiku dan
menggandengku ke sebuah tempat. Akupun mengusap aIr mataku dan senyumpun
menyembul di antara pipiku. “Ayo dan!! Kita kesana!” ajak Ayu sambil
menggandeng tangan dan tersenyum diikuti teman-teman yang lain yang merangkulku
dari belakang dan membangunkanku dari tanah. Aku bangun dan akupun tertawa
riang bersama mereka menuju sebuah tempat. Tempat yang tidak asing bagiku,
dimana ini? Setelah sampai di tempat itu teman-temanku meninggalkanku sambil
melambaikan tangan “Jangan sedih! Kamu harus selalu tersenyum apapun
keadaannya, Kami percaya kamu bisa dan! Allah akan selalu ada dalam hatimu!”
kata-kata terakhir Ayu membuatku semakin sedih karena mereka meninggalkanku
sendiri disini yang ternyata adalah Pondok Pesantren Daar El-Qolam 3.
***
“Cetar!”
sabetan sajadah mudabbir membangunkanku yang tertidur saat berdzikir. Sontak
aku bangun dan berpura-pura untuk berdzikir. Temanku ray menertawaiku yang
melihat ekspresiku yang mirip ikan salmon mangap-mangap. “Apaan sih lo ray!”
kataku sambil menyenggol pundaknya. “Hehehehe...ekpresi muka lo kacak dan” Ray
masih menertawaiku. Aku melihat ke sekeliling ada irvan yang walaupun sudah
beberapa kali disabet dengan sajadah tapi tetap saja tak menggoyahkan alunan
disko dalam mimpinya. Dan masih banyak lagi yang berdisko di subuh ini. Yah~
inilah santri. Subuh sudah biasa menjadi ajang pencarian bakat disko dalam
mimpi.
Akhirnya
dzikir selesai. “Al an iftahu quranakum assofhah al ula minas suroh al baqoroh!
Aqimuu ashabakum wa la tanamu..¹” Kak Awang, mudabbir bagian ibadahpun
melantunkan ayat suci alquran surat al baqoroh ayat 1 diikuti oleh seluruh
santri kecuali kelas 6 yang duduk di belakang dan nyaman tidur sambil beradu
disko. “hmmm..enak banget jadi mudabbir. Kerjaannya nyuruh doank tapi gak
ngelakuin, huh” protesku dalam hati ketika melihat mereka adu disko di
belakang.
Selesai
membaca al quran kamipun menuju asrama dan berlari menuju kamar masing-masing
untuk menaruh sajadah dan peci sekaligus mengambil buku mufrodat dan kamus
bahasa arab. “Hattal khomsah...wahid! itsnani! Tsalatsa!...” teriak Kak Arsyad,
mudabbir bagian bahasa. “Zzzzztt..baru juga nyampe udah diitungin lagi aja”
protesku dalam hati sambil buru-buru mencari kamus. “Ini kamus manaaa lagi? Et
dah ya..” aku panik dan akhirnya mengambil kamus nganggur di samping lemari.
Akupun langsung reflek mengambil kamus di samping dan bergegas keluar kamar dan
berkumpul di depan asrama sambil duduk beralaskan sandal. “Khommm....khomsah!
Sundawa huna!” kata Kak Arsyad menunjuk Sundawa yang dari tadi kebingungan
mencari kamus. “Na’am akh...¹” pasrah Sundawa sambil berjalan lemas keluar
kamar. “Limadza ente?²” tanya kak arsyad kepada sundawa. “Ehmm..anu ka, eh al
akh...qomusi...ehhh do’ats³” kata Sundawa yang masih terbata-bata dalam
mengucapkan kalimat bahasa arab. “Do’ats? Aina tado’? Man ya’khudz qomus
lisundawa?¹¹” tanya Kak Arsyad kepada kami semua. “Eh, keanya ini kamusnya
sundawa deh” Kubuka kamus yang tadi kuambil dan ternyata benar dugaanku ada
tulisan ‘SUNDAWA H.S’. “Waduh mampus gue!” antara galau bilang apa nggak, aku
memilih diam. “La ahad man ya’khudz? Toyyib sundawa..huna rijlaka!¹²” Kak
Arsyad bersiap-siap memukul Sundawa dengan rotan “Ba’du akh...ana akh man
ya’hudz afwann...¹³” akupun akhirnya mengaku sambil menunduk dan pukulan
rotanpun mendarat ke kakiku yang panjang dan kecil. Akupun meminta maaf ke Sundawa
dan berjabat tangan “maafin gue ya sundawa” “iye dan..gapapa makasih juga gue
jadi kaga disabet ama kak arsyad.hehehe” kamipun tertawa bersama.
Setelah
pembagian 2 kosa kata yang benar-benar membosankan kamipun kembali ke kamar dan
mengantri untuk mandi mempersiapkan ke sekolah. Akulah yang pertama mendapat
giliran karena ada hajat yang harus dibuang juga di kamar mandi. Aku mandi
sendiri, entah yang lain. Mereka biasanya berkelompok, ada yang 2 orang, 3
orang, bahkan pernah sampai 6 orang dalam satu kamar mandi. Untunglah aku
selalu mandi sendiri karena paling pertama masuk, berbeda dengan yang lain yang
terbiasa tidur sehabis ilqo mufrodat.
Selesai
mandi aku memakai baju putih dan celana hitam. Tidak seperti anak SMA lain yang
biasanya identik dengan celana abu-abu. Di pesantren ini setiap hari senin,
selasa dan rabu diwajibkan memakai celana hitam dan baju putih sedangkan hari
kamis memakai baju pramuka dan hari sabtu dan minggu memakai baju putih dan
celana putih. Jumat di pondok serasa bagai surga bagi anak pondok karena hari
inilah kami libur dan melakukan apapun yang kami mau selagi tak melanggar
aturan.
Aku
bergegas menuju dapur dan mengambil nasi yang langsung sekaligus untuk 3 orang,
Aku, Fajar, dan Awal. Ya! Kami bertiga adalah kelompok non lampung. Ray sudah
pindah kamar ke kamar 7 digantikan oleh Fajar ditambah dengan Awal yang baru
mendaftar ke pondok ini kemarin. Fajar dan Awal berasal dari Tangerang yang
jarak dari pondok ke rumahnya tak begitu jauh. Kami selalu makan bersama dengan
lauk gorengan yang bayarnya bergiliran. Kami biasanya makan saat istirahat
pertama, nasi yang tadi pagi kami simpan dibawah ranjang.
***
Aku duduk
bersama Arif di bangku ke-2 dari belakang samping dinding kelas 4B. Lokasi yang
benar-benar strategis menurutku karena jarang ditanya dan diperhatikan oleh
ustad kami. Arif berasal dari tangerang dan dia pernah ‘mondok’ di Cikarang,
dekat dengan daerahku. Di belakang kami ada Aspan dan Very yang berasal dari
Bekasi. Aspan kalau berbicara selalu terbata-bata entahlah tapi itulah
kekhasannya yang membuat kami sering tertawa meledeknya.
Hari ini
kelas diisi oleh pelajaran bahasa arab semua. Alhasil wali kelas kami, Ustad
Gunawan tak pernah bosan bertanya “Bosen gak anak-anak? Hehe” wali kelas kami
tergolong ramah dan pengertian dengan keadaan kami yang sebagian besar berasal
dari SMP. Arif dan Very berasal dari pondok jadi jangan heran kalau mereka
sering jadi anak ‘andalan’ oleh Ustad Gunawan karena memang harus diakui bahasa
arab mereka berdua lebih jago dibanding yang lain. Lain denganku yang
benar-benar buta dengan bahasa arab. Untunglah aku duduk bersama Arif karena
aku bisa bertanya banyak kepadanya khususnya mengenai pelajaran bahasa arab.
***
Becandaan
Arif kali ini sedikit membuatku kesal di sela-sela pergantian jam. Aku sedang
asyik membaca buku, dia malah menginjak kakiku dengan sengaja dan tertawa.
Jelas saja aku marah dan ‘ngambek’. “Yaelah dan..becanda doank..hehee” rayu
Arif mencoba menghilangkan kebosananku. “Ah bodo! Ana ke belakang aja. Aspan
tukeran ama ana ya, ana lagi males ama arif” akupun menukar posisi dengan Aspan
di bangku paling belakang bersama Very.
Awalnya
Aku dan Very masih diam. Akunya masih ‘bete’ dengan Arif, Verynya juga memang
pendiam. Dan saat jam ke-3 barulah kami berinteraksi “Ente darimana ver?”
kataku membuka percakapan. “Bekasi, ente bekasi juga kan? Dimananya?” “Di
cibitungnya, tau?” Dan kamipun mulai akrab sejak perkenalan kami waktu itu.
***
Hari-hari
berlalu di kelas 4B ini, aku memutuskan untuk tetap duduk bersama Very karena
‘asyik’ aja kalo duduk bersama Very. Dia selalu membuat becandaan yang tidak
terkesan ‘garing’ seperti arif walaupun aku dengan Arif sudah baikan alias ‘gak
marahan’ lagi. Jujur saja aku nyaman kalau duduk bersama Very karena dia setiap
hari bercerita. Ada saja cerita yang akan dia ceritakan. Entah itu tentang
pondoknya dulu, pacarnya, kamarnya, hingga masa lalunya yang kelampun dia
ceritakan kepadaku. Aku merasa enak aja mendengarkan dia bercerita dengan
begitu antusias dan aku hanya bisa berkata “oh?” atau “terus?”. Karena memang
aku masih belum bisa mengobrol bebas apalagi membuat becandaan yang membuat
satu kelas tertawa seperti Ihsan, maskot kelas kami yang selalu membuat kami
tertawa terbahak-bahak.
Ada suatu
kedekatan hati antara Aku dengan Very. Mungkin karena dia sering ‘curhat’
masalahnya kepadaku walaupun terkadang aku tidak bisa memberikan solusi tapi
setidaknya bisa membuat dia lega mencurahkan isi hatinya. Dan berkat dia juga aku
bisa tertawa lepas dan mencurahkan isi hatiku kepadanya. Setidaknya rasa
‘kangen’ku terhadap rumah bisa hilang olehnya. Dia juga termasuk orang yang
memiliki motivasi yang kuat dalam hatinya. Dia selalu terinspirasi oleh
lagu-lagu Bondan Fade2black dan J-rock, dua band yang menjadi favorit dia.
Sesekali dia menyanyikan lagu Bondan yang berjudul ‘Ya Sudahlah’ dan J-rock
yang berjudul ‘Ceria’. Setidaknya dapat menghibur hatiku yang hampa oleh
keceriaan. Dan ada lagi yang membuatku tertawa dan heran karena mukanya yang
pendiam sangat kontradiktif dengan ekspresinya ketika dia ‘ngocak’. Benar-benar
tidak disangka ternyata orang sediam Very dapat menampakkan ekspresi ‘konyol’
kepadaku.
***
Hingga
akhirnya aku mengenal cinta, aku jatuh cinta kepada akhwat yang berada di kelas
4C. Satu yang membuat tertarik adalah dia pernah ‘naik panggung’, istilah yang
dipakai oleh santri ketika ada santri lain yang ranking 1, 2 dan 3 naik ke
panggung dan mendapat piala dari direktur pengajaran. Aku butuh seseorang yang
dapat memacu motivasiku di lingkungan pondok yang gersang ini. Maka Verypun
menjadi sesuatu yang selalu memberikan tips-tips dalam berhubungan dengan
akhwat.
Very
walaupun pendiam tapi dia pernah memperlihatkan surat ‘akhwat’nya yang satu
kelas dengan kami. Jujur saya kaget tapi saat dia menjelaskan kalau dia
‘begini’ karna dia butuh motivasi. Dari situlah sebenarnya niatan saya untuk
‘mencari’ seseorang yang dapat memotivasi saya. Very selain bagi saya sahabat
terbaik, dia juga sudah saya anggap dokter cinta bagi saya yang terkadang butuh
‘vitamin’ dari dokter yang satu ini. Satu pesan yang selalu saya ingat darinya
adalah
أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما وأبغضك
هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوما ما.
Dikutip
dari hadits rasulullah yang artinya : “Cintailah orang yang kamu cintai
sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau
benci. Dan, bencilah orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi pada suatu
hari kelak ia akan menjadi orang yang engkau cintai.”
Tapi
apalah arti sebuah nasehat jika seseorang sudah dibutakan oleh sesuatu yang
dinamakan cinta. Inilah rasanya jatuh cinta, tak ada yang tahu rasanya cinta
sebelum dia sendiri yang merasakannya. Dan akupun dibuai oleh cinta. Aku
semakin tenggelam bersama alunan cerita cinta yang diciptakan kami berdua.
Wildan dan Zulfa yang mana kami menamai diri kami masing-masing dengan Belalang
dan Capung. Entah darimana asalnya aku menyebut dia Capung dan dia menyebutku
Belalang mungkin karena dia memakai kacamata yang mirip Capung dan aku yang
kurus mirip Belalang.
Akupun
semakin cinta dengan ‘capung’ dan Verypun semakin terlupakan. Very sekarang
hanya menjadi tempat bersandarku ketika aku sedih tidak mendapat balasan dari
Zulfa, selebihnya aku menjadi jarang mengobrol dengan dia karena sibuk dengan
balasan surat dari Zulfa yang terkadang aku balas ketika pelajaran berlangsung.
Mungkin Very memaklumiku tapi dia tak pernah lelah menasihatiku untuk tidak
terlalu mencintainya takut pas dia gak ada kita malah membencinya. Ah nasehat
hanya nasehat, masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
***
Hingga
suatu hari aku dan very ‘cekcok’ adu mulut karena dia membuang pemberian Zulfa
kepadaku. Jelas saja aku marah karena itu adalah sesuatu yang datangnya dari
orang spesial. “Maksud lo apaan ver buang-buang punya zulfa?!” bentakku
kepadanya. “Lo ngapain lebay banget ama cewek? Udah lah dan...jangan terlalu
over ama cewe. Biasa aja... Gw takut lo nyesel nanti” Jawab Very dengan nada
yang agak merendah.
Kamipun
hanya bisa diam satu sama lain setelah kejadian itu. Aku merasa untuk apa aku
berbicara dengan orang yang sok menggurui itu.
Tak
biasanya kami sediam ini dan menyimak pelajaran dengan serius. Biasanya kami
selalu mengobrol ketika pelajaran yang kami anggap membosankan, verypun
biasanya selalu membawa cerita ketika masuk kelas. Tapi kali ini hampa tanpa
cerita dan senyuman. Aku sebenarnya sadar dengan ketidaknyamanan ini tapi mau
bagaimana lagi, ego kami sungguh besar hingga mengalahkan ketidaknyamanan ini.
Akupun
menghibur diri dengan menulis surat kepada Zulfa, dia memberi masukan untuk
segera meminta maaf tapi aku menolak karena aku berpikir untuk apa aku meminta
maaf? Harusnya dia yang minta maaf!
***
Keesokan
harinya masih dengan ekspresi yang sama kami diam sepanjang perjalanan. “Ya
allah..Bete banget nih!” tak ada cerita, tak ada canda dan tawa. Pelajaran ke-5
kosong. “Masyallah makin bete aja nih..” kataku dalam hati sambil menekan meja
dengan pulpen. Sunyi dan akupun akhirnya menulis surat untuk sang kekasih.
Saat aku
menulis aku merasakan getaran di meja seperti ada orang yang sengaja
menggetarkannya. Aku tengok raut muka Very. Dia seperti menahan tawa. Akupun
melanjutkan tulisanku di atas kertas. Tapi sekali lagi tulisankun tercoret
lagi. “Ih ni orang rese banget dah..” kataku dalam hati. Aku tatap muka Very
dengan wajah marah. Dia tetap seperti menahan tawa. Aku lanjutkan dan kali ini
masih bergetar. Aku tarik hidungnya yang macung dengan jari teluntuk dan jari
tengahku. “Aduh sakit tau...hehehe” kata Very sambil cengengesan. Akupun
menjabat tangannya dan berkata “Maafin gue ye ver. Gue emang lebay.hehehe
Makasih sahabatku yang baik hatinya dan rajin menabung di wc.hehehe”. Very
sewot “Wuuuu....siapa juga yang nganggep lo sahabat ye..? kepedean lo! Hahaha”
verypun memukul pundakku tanda kemerdekaan kami berdua dari ‘penjajahan’ ini.
Aku sadar
bahwa sahabat begitu berarti dan berharga. Lebih berharga dari siapapun setelah
Allah dan orang tua. Sahabat lebih mengerti keadaan kita daripada teman-teman
yang lain karena dengannya lah kita berbagi kesedihan dan berbagi canda dan
tawa. Oh sahabat~ terima kasih selalu setia memperingatiku untuk selalu berada
di jalan yang benar. Semoga Allah mempertemukan kita di surga nanti.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :إن من عباد
الله عبادا ليسوا بأنبياء، يغبطهم الأنبياء والشهداء، قيل: من هم لعلنا نحبهم؟
قال: هم قوم تحابوا بنور الله من غير أرحام ولا أنساب، وجو ههم نور على منا بر من
نور، لا يخافون إذا خاف الناس، ولا يحزنون إذا حزن الناس، ثم قرأ:ألا إن أوليـاء الله
لا خوف عليهم ولا هم يحزنون.
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan : “Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka tidak taku di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membacakan ayat : “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Yunus : 62). (16)
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan : “Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka tidak taku di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membacakan ayat : “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Yunus : 62). (16)
Kontributor:Santri PPHM
Sumber: http://dentiriyanti.blogspot.co.id/2013/03/kisah-suka-duka-santri_12.html
0 comments:
Post a Comment